Sejak Oktober 2023, 182 atlet dan penanggung jawab olahraga Palestina meregang nyawa akibat konflik di Gaza. Sebagian dari mereka yang masih ada seperti diaspora Palestina – berkesempatan mengibarkan bendera Palestina di Prancis – yang tidak mengakui Palestina sebagai negara. Usai menuntaskan sesi latihan di Paris pada pekan silam, ingatan perenang Palestina Amerika Valerie Tarazi terbawa ke satu momen yang begitu menginspirasinya: ketika perenang legendaris Michael Phelps merajai delapan medali emas di Olimpiade Beijing.
“Itu adalah momen pertama di mana saya berkata, ‘Ya, Tuhan, ingin rasanya menjadi atlet Olimpiade,” kenang Tarazi. Paris merupakan saksi di mana impian Tarazi – dan atlet atlet lainnya – untuk ambil bagian di ajang olahraga tertinggi menjadi kenyataan. Namun, untuk Tarazi, keikutsertaan dirinya dalam Olimpiade Paris 2024 lebih dari sekadar berkompetisi.
Baginya, ini adalah sebuah bentuk penghormatan bagi puluhan ribu orang Palestina yang tewas dalam kurun waktu lebih dari sembilan bulan terakhir akibat perang di Gaza. “Ini adalah cara saya untuk menghormati mereka,” ujar Tarazi. Kunci Jawaban PAI Kelas 11 Halaman 170 171 172 Kurikulum Merdeka: Penilaian Pengetahuan Bab 5 Halaman all
Kunci Jawaban PAI Kelas 12 Halaman 31 37 Kurikulum Merdeka, Penilaian Pengetahuan Bab 1 Halaman 4 Kunci Jawaban PKN Kelas 9 Halaman 94 Semester 2: Uji Kompetensi Bab 3 Halaman all Tarazi adalah salah satu dari mereka yang terlahir dari diaspora Palestina yang besar jumlahnya. Meskipun lahir dan besar di Amerika Serikat, Tarazi mengapresiasi keterikatannya dengan salah satu keluarga Kristen paling tua di Gaza.
Tarazi mengaku empat sanak saudaranya meregang nyawa setelah sebuah gereja di Gaza dihajar bom Israel pada Desember silam. “Kami sungguh terpukul,” ujarnya mengomentari meningkatnya angka kematian di Gaza yang kini mencapai 40.000 jiwa. “Mereka adalah teman, keluarga, rekan satu tim, dan anggota tim nasional.”
Komite Olimpiade Internasional (IOC) mengakui negara Palestina sejak tahun 1995. Tiga perempat dari anggota PBB sekarang juga mengakui Palestina – terkecuali di antaranya Amerika Serikat, Inggris, dan tuan rumah Prancis. Tarazi mesti banting tulang menghadapi jadwal latihan yang begitu padat. Dia pun sadar betapa banyak pengorbanan yang mesti dilakukan untuk dapat bersaing di level yang teramat tinggi. Meski begitu, Tarazi menyadari posisinya yang unik dan istimewa: mendapat kesempatan mengibarkan bendera negara di pesta olahraga terbesar di dunia.
“Rasa sakit yang saya alami tidak ada apa apanya dibandingkan penderitaan yang dirasakan orang orang setiap harinya,” kata Tarazi tentang rekan rekan senegaranya. Salah satu kompatriot Tarazi, Tamer Qaoud, tidaklah seberuntung dirinya dalam mengejar ambisi karier olahraga. Rumah Qaoud di Gaza kini luluh lantak. Dia dan keluarganya terpaksa pindah sebanyak dua kali selama masa perang. Mereka sekarang tinggal di sebuah tenda di Deir el Balah di tengah tengah Jalur Gaza.
“Impian saya adalah Olimpiade,” tuturya kepada BBC News minggu ini. “Sayangnya, karena perang dan kondisi sekarang, kami tidak bisa meninggalkan Gaza.” Qaoud adalah atlet lari dengan spesialisasi 1.500 meter. Sudah dua kali dia mewakili Palestina di kancah internasional.
Setahun yang lalu di Arab Games di Aljir, Aljazair, Qaoud untuk pertama kalinya mengenakan sepatu lari. Itu juga pertama kalinya Qaoud berlari di atas permukaan selain beton. Pada bulan September, Qaoud bergabung dengan Tarazi di Asian Games di Hangzhou, China. Mereka masih berada di sana ketika perang meletus di Gaza pada awal Oktober. Qaoud mengaku dirinya harus pulang.
Catatan waktu terbaik Qaoud masih jauh di luar batas kualifikasi Olimpiade. Di sisi lain, peluang kecil yang barangkali masih dimilikinya untuk berlaga di Paris – bahkan dengan wild card sekalipun – lenyap dengan seketika. “Saya ingin berkompetisi dengan atlet atlet terbaik dunia, seperti Jakob,” ujarnya. Qaoud merujuk ke juara dunia lari 1.500 putra saat ini, Jakob Ingebrigtsen asal Norwegia.
“Saya ingin berlari bersamanya dan merasakan bagaimana rasanya bersaing dengan yang terbaik di dunia.” Di tengah tenda tenda, debu dan pohon pohon kurma di Deir el Balah, Qaoud tetap berlatih dengan gigih. Qaoud, yang mengenakan seragam putih Palestina, ditonton beberapa anak anak yang terlihat kebingungan. Pelatih Qaoud, Bilal Abu Samaan, terbunuh dalam serangan udara Israel pada Desember silam. Berdasarkan catatan Asosiasi Sepak Bola Palestina, Samaan adalah satu dari sekitar 182 atlet dan penanggung jawab olahraga yang tewas sejak Oktober tahun.
Qaoud menyadari waktunya untuk bersinar belum tiba. Namun, dia sekarang khawatir bahwa, kecuali dia bisa keluar dari Gaza, dia tidak akan pernah mencapai prestasi yang diinginkannya. “Perang menghancurkan segalanya, termasuk impian kami,” akunya. “Saya berharap bisa meninggalkan Gaza, bergabung dengan pusat pelatihan, mendapatkan kembali kekuatan lama saya dan menjadi lebih kuat dari yang sebelumnya.”
Kembali ke kolam renang di Paris, perenang Palestina lainnya, Yazan al Bawwab, mengaku bangga bisa menjadi duta sebuah negara di mana sekadar berolahraga saja sudah menjadi sebuah tantangan. “Tidak ada kolam renang di Palestina,” tukasnya. “Kami tidak punya infrastruktur.” Seperti Tarazi, al Bawwab lahir dan dibesarkan di luar negeri. Meski begitu, dengan penuh rasa bangga dia mengenakan seragam dan identitasnya.
“Prancis tidak mengakui Palestina sebagai sebuah negara,” ujar al Bawwab dengan nada menantang. Dia mengulangi kalimat itu untuk memberi penekanan. “Saya di sini, mengibarkan benderanya.”